Tuesday 22 March 2016

Pendahuluan

Latar Belakang

              Konsep Takdir, selalu menjadi perdebatan dan pertanyaan banyak orang. Akhir-akhir ini cukup banyak pertanyaan ataupun diskusi-diskusi tentang takdir. Bagi umat islam, takdir merupakan bagian dari pada aqidah, karena merupakan bagian dari pada iman terhadap Qadha dan Qadar, dimana kata takdir ini merupakan kata yang berasal dari Qadar. Karenanya, pemahaman tentang takdir ini sangat penting bagi seorang muslim. Sebab pemahaman tentang takdir ini akan menentukan arah dan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya. Karenanya banyak juga ulama-ulama yang membahas konsep takdir dalam buku yang mereka buat. Masalah takdir terdapat 3 golongan yang memahaminya secara berbeda. Golongan pertama; berpendapat bahwa manusia itu tidak bebas sama sekali, apa yang kita lakukan sudah ditentukan oleh Allah. Golongan kedua; berpendapat bahwa kita sangat bebas, apapun yang dilakukan tidak ada campur tangan Tuhan sama sekali. Dan golongan terakhir berpendapat bahwa apapun yang dilakukan semuanya ada dalam aturan-aturan Allah, ada campur tangan Allah, tapi kitapun memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu.
              Percaya kepada qada dan Sunnatullah  adalah mempercayai bahwa segala yang berlaku adalah ketentuan Allah semata. Sebagai seorang muslim wajiblah disadari bahwa kita adalah makhluk yang lemah, bahwa Allah itulah Yang Maha Perkasa dan Maha Berkuasa dan segala ssuatu adalah berlaku dengan ketetapan-Nya saja. Oleh karena itu kita wajib beriman kepada takdir, bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah Swt.
Kenyataan ini sangat penting bagi sebuah pemahaman atas ide tentang takdir. Takdir adalah ide bahwasanya Allah telah menciptakan setiap kejadian, masa lalu, masa kini dan masa depan dalam seketika, ini berarti tiap-tiap kejadian, mulai dari penciptaan alam semesta hingga hari kiamat telah berlangsung dan berakhir dalam pandangan Allah[1]. Sebelum kita mengalami suatu kejadian, kejadian itu telah berlangsung dalam pandamgan Allah karena qalam-Nya telah menulis dengan rinci seluruh ketetapan peristiwa atau kejadian termaktub dalam induk kitab Lauh Mahfuz. 

             Allah berfirman dalam QS 10:61 ِ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء وَلاَ أَصْغَرَ مِن ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ  (Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpu sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata ).Meskipun demikian kita masih boleh berusaha dan berdo’a karena dengan limpahan Rahmat-Nya, namun demikian jangan menyangka berdo’a berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do’a itu sendiri telah tertulis di lauh mahfudz.
Prof. Dr. H. Quraish Shihab mengutip pendapat ulama yang berpandangan bahwa tidak ada takdir. Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah ?. Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu ? Bukankah Allah sendiri menegaskan من شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر (Barangsiapa hendak beriman, silahkan beriman, dan barangsiapa hendak kafir, silahkan kafir).[2]
            Penulis berpendapat bahwa takdir atau qadar tidak perlu ditiadakan, karena adanya takdir menandakan adanya Allah swt. Sebaliknya, tidak adanya takdir berarti tidak ada Tuhan. Ibaratnya sebuah meja yang bagus lagi indah kelihatan, karena penciptaannya telah diukur dan ditetapkan oleh  tukang kayu yang membuatnya sesuai dengan qadarnya, tidak lebih dan tidak kurang. Adapun waktu dan tempat rusak atau tidaknya,  tukang kayu tidak menentukan waktunya. Akan tetapi, tukang kayu tersebut tahu bahwa meja cantik tersebut akan rusak di kemudian hari.
             Sama halnya kalau dikatakan bahwa Allah telah mnciptakan dan mentakdirkan keberadaan manusia, langit, bumi dan isinya, matahari, bulan dan lain sebagainya dengan sebaik-baik penciptaan dan takdir segala apa yang ada pada diri manusia telah diatur atau ditakdirkan mempunyai tempat atau ukuran tersendiri. Darah misalnya, telah ditakdirkan tempat peredarannya dan sekian ukurannya cocok bagi manusia, sehingga ia dapat hidup. Sebaliknya, apabila darah tersebut tidak beredar pada tempatnya atau kurang dari ukuran yang telah ditetapkan oleh Allah swt, maka manusia mengalami sakit atau mati. Sakit, mati, dan rezeki merupakan takdir Ilahi yang sebelum manusia lahir di dunia telah ada takdir tersebut. Adapun penentuan waktu tempat yakni kapan dan dimana hidup, sakit, mati, dan banyak sedikit nya rezeki berada pada tangan manusia dan pada tangan Allah swt. Menurut penulis, manusialah yang harus menentukan arah lebih awal kemana ia akan pergi. Misalnya manusia memilih banyak rezki, ia harus bekerja keras. Allah akan memberikannya. Jika manusia ingin banyak rezki kemudian tinggal berpangku tangan, tetap Tuhan menjadikannya miskin, karena Tuhan telah menyampaikan bahwa “Tuhan tidak akan merubah seseorang kecuali ia merubah dirinya lebih awal”. Hal inilah yang disinyalir secara tegas difirmankan oleh Allah dalam QS. al-Ra’ad (13): 11 yakni ;
(Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada dirinya).
             
             Pemahaman terhadap Qadla dan Qadar itu sederhana saja, yaitu bahwa apapun yang terjadi di bumi ini, pasti ada sebabnya, bahkan kematian, rezeki dan jodoh pun tunduk pada hukum ini. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hukum sebab akibat inilah yang kemudian disebut dengan Sunnatullah. Dalam ajaran Islam, segala yang ada di muka bumi ini mengiluti Sunnatullah, aturan Allah Swt. Itulah Qadha. Sedangkan Qadar adalah ukuran dari aturan-aturan tersebut. Besar kecil (ukuran) usaha atau ikhtiar dalam mengikuti aturan tersebut akan menentukan hasil, oleh karena itu hasil dari usaha inilah yang disebut dengan takdir.





No comments:

Post a Comment